Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengumumkan rencana baru dalam pengelolaan registrasi kartu SIM. Mulai tanggal 1 Januari 2026, sistem registrasi berbasis biometrik dengan teknologi pengenalan wajah akan diberlakukan untuk seluruh pelanggan, dengan tujuan utama meningkatkan keamanan identitas pengguna serta mengurangi penipuan digital yang semakin marak.
Kebijakan ini menjadi langkah preventif yang penting untuk mengatasi berbagai modus kejahatan digital yang sering terjadi. Terutama ketika banyak penipuan yang memanfaatkan nomor telepon sebagai alat utama untuk menipu masyarakat.
Pada tahap awal, penerapan registrasi biometrik ini bersifat sukarela untuk pelanggan baru dengan skema hybrid hingga akhir Juni 2026. Setelah masa ini berakhir, semua pengguna baru diwajibkan untuk menggunakan metode biometrik saat mendaftar kartu SIM, agar dapat memperkuat efektivitas sistem tersebut.
Pernyataan ini disampaikan dalam acara diskusi berjudul “Ancaman Kejahatan Digital serta Urgensi Registrasi Pelanggan Seluler Berbasis Biometrik Face Recognition” di Jakarta, yang diselenggarakan oleh Komdigi bersama dengan Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) pada tanggal 17 Desember 2025.
Pentingnya Registrasi Biometrik dalam Mencegah Kejahatan Digital
Direktur Jenderal Ekosistem Digital Komdigi, Edwin Hidayat Abdullah, menyampaikan bahwa kebijakan registrasi biometrik ini merupakan respons terhadap tingginya angka penipuan digital yang terus meningkat. Sebagian besar modus kejahatan siber, seperti panggilan penipuan dan phishing, sangat bergantung pada penyalahgunaan identitas nomor telepon.
Edwin juga mengungkapkan bahwa kerugian akibat penipuan digital telah mencapai lebih dari Rp7 triliun. Setiap bulan tercatat lebih dari 30 juta panggilan terkait penipuan, dan rata-rata masyarakat Indonesia menerima minimal satu panggilan spam setiap minggunya. Hal ini menunjukkan betapa mendesaknya upaya untuk memperbaiki sistem registrasi saat ini.
Data dari Indonesia Anti Scam Center (IASC) turut memperkuat pernyataan Edwin, mencatat 383.626 rekening yang diduga terlibat dalam penipuan, dengan total kerugian mencapai Rp4,8 triliun hingga bulan September 2025. Angka ini sangat kontras dengan jumlah pelanggan seluler yang terverifikasi, yaitu lebih dari 332 juta nomor.
Melihat masalah yang ada, kebijakan registrasi berbasis biometrik diharapkan dapat menjadi solusi yang efektif untuk mengatasi isu ini. Hal tersebut sekaligus memberikan perlindungan lebih bagi masyarakat dari praktik penipuan yang merugikan.
Persiapan Operator Seluler dan Dukungan dari ATSI
Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) menyatakan kesiapan dari semua operator seluler untuk mendukung implementasi registrasi SIM berbasis biometrik. Direktur Eksekutif ATSI, Marwan O. Baasir, menekankan betapa pentingnya kebijakan ini untuk melindungi kepentingan konsumen di tengah perkembangan digital yang sangat pesat.
Dalam era digital saat ini, layanan seperti mobile banking dan transaksi online tidak bisa terpisahkan dari nomor telepon. Oleh karena itu, diperlukan sistem identifikasi yang lebih kuat dan akurat agar pengguna dapat terlindungi dengan baik.
Marwan menjelaskan bahwa peralihan dari sistem validasi berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Kartu Keluarga ke sistem biometrik merupakan kelanjutan dari kebijakan Know Your Customer (KYC) yang telah diimplementasikan sejak tahun 2005. Teknologi biometrik dipercaya dapat mencegah masalah identitas ganda serta mengurangi potensi kejahatan seperti SIM swap fraud.
Selama masa transisi ini, pelanggan baru masih diberikan pilihan untuk mendaftar menggunakan NIK atau memilih registrasi biometrik. Namun, sejak 1 Juli 2026, hanya metode biometrik yang akan berlaku untuk seluruh registrasi pelanggan baru. Kebijakan ini tidak akan mencakup pelanggan lama yang sudah terdaftar sebelumnya.
Tantangan dan Harapan di Era Digital
Dengan diimplementasikannya sistem registrasi biometrik, diharapkan dapat tercipta keamanan yang lebih baik bagi semua pengguna layanan telekomunikasi. Namun, pelaksanaan kebijakan ini tentunya bukan tanpa tantangan dan kendala yang mungkin dihadapi. Adanya kebutuhan akan infrastruktur yang memadai serta edukasi kepada masyarakat menjadi faktor penting dalam keberhasilan kebijakan ini.
Implementasi teknologi biometrik bukan hanya soal keamanan, tetapi juga soal kenyamanan dan kemudahan bagi pengguna. Penting bagi seluruh pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, operator seluler, hingga masyarakat, untuk bekerja sama dalam mengoptimalkan sistem ini.
Jika berhasil, kebijakan registrasi SIM berbasis biometrik ini tidak hanya akan mengurangi angka penipuan digital, tetapi juga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap layanan telekomunikasi. Kepercayaan ini sangat penting dalam mendorong penggunaan layanan digital yang semakin meluas di Indonesia.
Selain itu, kebijakan ini juga akan berkontribusi pada pengembangan infrastruktur digital yang lebih baik di tanah air. Dengan meningkatnya keamanan, diharapkan masyarakat akan lebih aktif dalam berpartisipasi di dunia digital tanpa takut menjadi korban penipuan.
